Diskusi “Mak Lebon Lampung di Bumi” Kupas Tantangan Sastra Lokal di Kotabumi dan Way Kanan

Kotabumi — Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) bekerja sama dengan Dewan Kesenian Lampung Utara (DKLU) dan Dewan Kesenian Way Kanan (DKWK) kembali menggelar diskusi terpumpun bertema “Mak Lebon Lampung di Bumi: Sastra Lokal dan Warna Lokal Lampung”. Kegiatan ini dilaksanakan di Kotabumi, Rabu (20/8/2025), dan akan berlanjut di Blambangan Umpu pada Kamis (21/8/2026).

Ketua Komite Sastra DKL, Udo, menjelaskan bahwa forum ini merupakan rangkaian lanjutan dari program penguatan sastra Lampung yang sudah berjalan sejak 2024. Pada tahun sebelumnya, agenda serupa diselenggarakan di tiga titik berbeda: Pekon Hujung (Lampung Barat), Krui (Pesisir Barat), dan Palembapang (Lampung Selatan).

“Kami berusaha menggali permasalahan yang dihadapi sastra berbahasa Lampung maupun karya sastra yang mengandung warna lokal Lampung. Melalui diskusi ini, kami mencari solusi agar sastra Lampung tetap hidup, berkembang, dan relevan dengan perkembangan zaman,” ujar Udo. Ia menambahkan bahwa hasil FGD di berbagai daerah akan dihimpun menjadi manuskrip dan direncanakan terbit tahun ini.

Menurut Udo, Lampung memiliki kekayaan budaya yang besar, termasuk dalam bidang sastra. Namun perhatian terhadap sastra Lampung dinilai masih kurang, baik di ranah provinsi maupun nasional. Karena itu, penyelenggara menghadirkan pelaku seni serta pemangku kebijakan daerah untuk memperkaya data dan perspektif.

Dalam forum tersebut, sastra lokal dipahami sebagai karya yang menggunakan bahasa Lampung. Sementara itu, sastra warna lokal merujuk pada karya berbahasa Indonesia yang menampilkan kekhasan Lampung—baik adat, nilai budaya, maupun latar geografisnya.

Ketua Dewan Kesenian Lampung, Prof. Satria Bangsawan, menyambut baik keberlanjutan diskusi ini. “Lampung memiliki tradisi sastra lisan dan tulisan yang luar biasa. Semua itu harus kita kenali, lestarikan, dan kembangkan. Nilai-nilai yang tersimpan dalam sastra Lampung sangat penting bagi identitas dan peradaban masyarakat,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa banyak bentuk sastra tradisional masih hidup di komunitas adat Lampung, meski kemajuan zaman membawa tantangan tersendiri. “Jika bahasa dan sastra Lampung hilang, maka hilang juga pengetahuan serta kearifan lokal yang menjadi bagian dari jati diri masyarakat Lampung,” tegasnya